KRITIK SASTRA "Cerpen Kakek" Karya M. Shoim Anwar
M.
Shoim Anwar
KAKEK
Meski saat
berbuka puasa masih sekitar satu jam
lagi, Kakek ternyata sudah duduk menghadap meja makan yang sudah lengkap dengan
berbagai masakan. Kalau hanya sekadar duduk tentu tak ada masalah. Tapi Kakek
memang kakek. Apa yang dilakukan benar-benar aneh, ganjil, serta menggelikan.
Pandangannya tak pernah dialihkan ke yang lain, dia selalu memandangi masakan
itu. Sebentar-sebentar dia membuka tutup mangkuk sayur, mengangkat isinya
dengan senduk, lalu menciumnya.
“Segar...,”
katanya manggut-manggut.
Habis
menikmati bausuk, Kakek berganti mengangkat piring ynag berisi daging goreng,
diamat-amati dengan teliti, kemudian diciumnya bibir piring itu dengan pelan.
Kelihatannya Kakek benar-benar menikmati baunya, matanya dipejamkan sambil
menarik napas dengan lembut.
“Lezaaatt...,”
katanya sambil meletakkan piring .
“Puasa
tidak boleh mencium-cium begitu, Mbah,” kataku.
“Loh,
itu tergantung niatnya,” Katanya dengan tenang.
“Apa
mencium pakai niat?”
“Bukan
begitu, mencium hanya untuk mengukur selera, bukan untuk menikmati.”
“Tapi
kan bisa nanti, Mbah, ketika mulai berbuka. Dicicipi dulu sebelum makan.”
“Oaala...
mencicipi itu bukan mengukur selera, tapi sudah menikmati.”
Mendengar
tangkisan-tangkisan Kakek, Ibu hanya tersenyum. Sambil melengkapi beberapa jamuan,
lama-lama Ibu mengatakan padaku bahwa itu sudah menjadi kebiasaan Kakek. Aku
sendiri tak tahu sudah berapa lama kebiasaan Kakek. Sudah dua tahun ini aku
tidak pulang saat bulan puasa. Dan Kakek ikut keluarga kami juga baru dua
tahun, tepatnya sejak aku mulai kuliah ke Jakarta.
Ketika
Ibu meletakkan kolak pisang ke hadapan Kakek,
Kakek langsung menyambutnya dengan muka berseri-seri. Kentara sekali bau asap
kolak pisang itu menebarkan aroma yang merangsang. Kakek pun segera bangkit dan
mendekatkan hidungnya ke arah asap kolak di atas cawan.
“Benar-benar
nikmat...” Kata Kakek sambil menepuk-nepuk bibir cawan.
“Puasa
kan nggak hanya nahan makan dan minum, Mbah, juga harus menahan nafsu untuk
mencium-cium masakan seperti itu. termasuk menahan pandangan, pendengaran, dan
ucapan-ucapan yang tidak baik,” aku sedih berdalih.
Tapi
Kakek hanya tersenyum, tak ada tanda-tanda keseriusan. Matanya terus
berlompatan dari piring satu ke piring yang lain, dari mangkuk satu ke mangkuk
yang lain. Tak ada yang terlewati.
“Semua
tergantung niatnya” Kakek mengulangi jawabannya.” Kita punya hidung ya untuk
membaui, punya mata ya untuk melihat, punya telinga ya untuk mendengar, punya
mulut ya untuk ngomong.”
“Tapi
hal-hal yang kurang baik itu bisa merusak pahala puasa, Mbah. Bahkan
membatalkan.”
“Lawong
puasa kok karena pahala,” katanya dengan nada sangat tenang.
“Lebih
baik karena pahala dari pada karena paha.”
“Poso-poso
kok ngomong jorok.”
“Terus
karena apa lo, Mbah?”
“Ya
karena menjalankan perintah agama. Pahala itu urusan Gusti Allah.”
Kakek
segera mengambil sebuah mangga dari piring. Buah bewarna jingga itu
dielus-elus, diamat-amati, dan akhirnya dicium juga. Lama sekali Kakek
menghirup dengan mata terpejam.
“Ah...
sedaaaaap...”
Betul
kata Ibu. Kebiasaan Kakek ternyata berlangsung terus. Bahkan kadang-kadang,
waktu berbuka kurang sekitar satu jam, Kakek sudah siap di meja makan, menciumi
seluruh masakan dan menimang-nimang seperti anak kecil. Tetntu saja aku sering
melihat Kakek menelan ludahnya karena terangsang oleh bau masakan.
Lama-lama
aku juga tau kebiasaan Kakek yang lain. Kakek ternyata suka mengumpulkan
berbagai makanan di kamarnya. Aku sering melihat di kamar Kakek ada jambu yang
tadi pagi berjatuhan di kebun karena habis dimakan codot malam harinya, sawo
sebiji, kerupuk di plastik, juga beberapa jenis makanan eceran sebangsa jajan
pasar. Semuanya disembunyikan di kamar. Kakek ternyata seperti anak kecil
yang baru belajar puasa. Kalau siang ngeluthus ke kebun-kebun untuk mencari
rontokan buah-buahan. Sementara malam harinya aku sering menyaksikan Kakek
kekenyangan karena melahap seluruh makanan simpanannya. Itulah sebabnya Kakek
kalau sembahyang terawih memeilih yang lebih cepat selesai.
Kami
sekeluarga memang harus bersyukur bahwa kakek sudi dan berkenan untuk
mengerjakan puasa. Sebab, Kakek termasuk orang takhlukan. Artinya, kakek mau
menjalankan perintah agama belumlah terlalu lama, lebih kurang empat tahun yang lalu. Sejak masa
kanak-kanak hingga setua ini, Kakek hidup dalam lingkup keluarga yang kurang
peduli dengan masalah agama. Sementara sejak menikah dengan Bapak, Ibu telah
diboyong ke kota lain. Di kota terakhir ini lah Ibu mulai belajar dan
menjalankan perintah agama. Tidak seperti di kota kelahirannya.
Tidak
ada yang tahu persis awal kesadaran Kakek. Sejak Nenek meninggal, Kakek memnag
sering pergi ke keluarga kami, bahkan hingga beberapa minggu. Mungkin di sini
Kakek menyaksikan cara hidup masyarakat yang begitu religius. Setiap waktu
sembahyang tiba, terutama saat maghrib, kami selalu mengerjakan bersama-sama.
Setelah itu kami, anak-anak, terus belajar membaca Al-quran dengan dibimbing
oleh Bapak. Ini tentu berbeda dengan suasana keluarga Kakek saat Ibu masih
kecil dulu. Boleh jadi di sini Kakek dihadapkan pada situasi yang membawanya ke
keterjutan. Itu terlihat pada awalnya, Kakek seperti minder. Menurut
pengakuannya, alif bengkong pun dia tidak mengerti, benar-benar asing dengan Al-quran.
Mungkin
secara iseng-iseng, Bapak menyuruh Ibu untuk mneyediakan sarung dan kopiah
untuk Kakek. Ibu menurut. Ibu hanya mengatakan kepada Kakek untuk memakai
sarung dan kopiah itu supaya pantas, seperti ornag sini layaknya. Mula-mula
Kakek memang malu-malu, tapi dipakainya juga sarung dan kopiah itu.
“Pantas,
Mbah,” kataku pada saat itu.
“Seperti
santri,” kata adikku Laila
“Ah
bisa-bisa saja,” jawab Kakek sambil tersipu-sipu.
“Masak
pakai pakaian begini sudah dikatakan santri. Sekarang kan banyak santri yang
nggak mau pakai sarung dan kopiah.
Waktu
maghrib pun tiba. Kami lantas sembahyang berjamaah. Sementara Kakek terlihat
seperti tak tahu yang harus diperbuat, dia mondar-mandir di ruang depan.
Tiba-tiba Yulkifli, adikku yang laki-laki, menyeret Kakek untuk ikut
sembahyang. Anak kecil memang belum mampu mengukur perasaan, Kakek digelandang
untuk sembahyang. Kakek tentu saja tak mampu menolak. Barangkali saat itulah
untuk kali pertama Kakek melakukan (baca: ikut-ikutan) bersembahyang.
Saat
sembahyang berlangsung, terdengar adik-adikku yang kecil tertawa cekikikan
menertawakan Kakek. Konsentrasi kami tentu saja terganggu. Seusai sembahyang
aku mengetahui bahwa mereka, katanya, melihat Kakek roboh saat melakukan
gerakan rukuk. Gerakan Kakek, katanya, juga tidak bisa seragam, tertatih-tatih
mengikuti sehingga tertinggal terus. Bahkan Yulkifli mengatakan bahwa saat
sembahyang tadi sarung Kakek sempat melorot dan Kopiahnya terjatuh saat sujud.
Pagi
harinya, Kakek tiba-tiba minta pulang. Kami tak mampu mencegahnya. Delapan
bulan kemudian Kakek datang lagi. Kali ini terjadi kejutan besar. Kakek
ternyata sudah bersembahyang dengan penuh kesadaran. Gerakan-gerakannya sudah
fasih. Bahkan dia datang dengan membawa sarung dan kopiah sendiri. Beberapa
buku tentang agama islam juga terlihat di dalam tasnya. Kami benar-benar
bersyukur atas petunjuk Tuhan yang
diberikan kepada Kakek. Dengan demikian, Kakek bukan saja termasuk Kakek kami,
tapi sekaligus keluarga kami. Antara status Kakek
dan keluarga memang punya
perbedaan besar. Ketika Nabi Nuh tidak berhasil mengajak anaknya untuk naik
perahu saat terjadi bencana banjir, karena anaknya memang tidak beriman
sehingga memilih jalan sendiri, Nabi Nuh langsung memohon kepada Tuhan, “Ya,
Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku.”
Tapi karena anak Nabi Nuh tidak beriman, Tuhan langsung berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termask keluargamu.”
Tapi karena anak Nabi Nuh tidak beriman, Tuhan langsung berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termask keluargamu.”
Jadi, status yang lebih
hakiki dimata Tuhan adalah keluarga. Dia
diikat oleh simpul-simpul keimanan, sementara status anak, kakek, dan
semacamnya, adalah sapaan antarmanusia yang dijalin faktor keturunan.
Yang tetap menjadi
masalah adalah perbuatan kakek yang terus saja membaui dan mencium-cium segala
makanan. Puasa demikian tentu saja terlihat ganjil, tidak arif, dan kurang
mampu menahan hawa nafsu terhadap makanan. Jawaban kakek tetap saja sama ketika
kami memperingatkan, “Semua itu tergantung niatnya.” Kami sudah mengatakan
bahwa niat harus dibarengi dengan tindakan-tindakan yang tidak menyimpang, niat
saja tidak cukup. Pun Kakek tetap saja mengendus-ngendus seperti kucing
lapar.
“Mbah tidak puasa! Mbah
tidak puasa!,
Teriak adikku Laila
dengan keras.
Aku segera ke ruang
tengah. Ternyata betul, Kakek telah menghabiskan sepiring nasi, padahal masih
pukul setengah lima sore.
“Lupa! Lupa!” kata
Kakek sambil menyemburkan sisa-sisa makanan dari mulutnya. Dia lamtas berdiri
dengan bengong menatap kami satu persatu.
“Namanya lupa ya nggak
apa-apa. Kelupaan waktu puasa itu seperti dapat berkha atau rezeki,” kata Bapak.
Dan Kakek segera ke belakang untuk berkumur.
“Makanya jangan
nongkrong di meja makan terus, Mbah.” Kataku pada Kakek setelahdia tiba kembali
di ruang tengah
“Apa kamu tidak percaya
kalau saya lupa?” kakek menegaskan.
“Mbah nggak dosa?”
tanya Yulkifli.
“Dosa bagaimana? Justru
saya telah mendapat berkah dna rezeki karena lupa, itu kata Bapakmu tadi.”
Bapak dan Ibu hanya
tersenyum. Sementara Kakek kembali duduk menghadap meja makan. dia mulai
memandang seluruh makanan yang ada. Hidungnya terus mengendus-endus. Dan
kebiasaan itu tak kunjung berubah dihari-hari berikutnya. Seminggu kemudian,
aku mendapati Kakek makan dengan lahap pada pukul lima sore.
“Lo, Mbah tidak puasa?”
aku sepontan bertanya. Kakek seperti terjingkat.
“Masya Alloh, saya
lupa. Demi Allah lupa,” jawab Kakek dengan tandas. Dia langsung berlalri ke
belakang. Aku mnejadi ragu-ragu atas kelupaan Kakek sebab beberapa saat sebelum
itu aku melihat Kakek mencium-cium seluruh masakan seperti biasanya. Begiut
tipisnya batas antara ingat dan lupa.
Tiba-tiba terdnegar
suara Yulkifli, “Enak juga menjadi orang tua yang gampang lupa. Kalau saat puasa,
dapat rezeki dan berkah terus-terusan.”
“Ha haaaaa....,” kami
tertawa bersamaan.”
“Yang penting niatnya,”
kakek spontan menyahut. Dan dia segera kembali duduk menghadapi meja makan.
kali ini matanya tertuju pada ceplok telur!
Surabaya,
1993-2003
Kritik Cerpen Kakek karya M. Shoim Anwar
Dalam cerpen ini
menceritakan tentang kehidupan
keluarga religius
yang terdiri bapak, ibu, anak dan satu orang kakeknya.
Kakek yang diceritakan dalam cerpen ini adalah tokoh utama.
Dilihat dari
unsur Intrinsik,
1.
Alur dalam cerpen ini menggunakan alur
campuran, hal ini dapat dilihat dari paragraf awal hingga paragraf
akhir yang bercerita tentang masa sekarang dan kemudian beralih menceritakan masa lalu kemudian kembali ke masa sekarang.
Terlebih ketik ibu menceritakan kehidupa kakek di masa lalu yang dapat dilihat
pada kutipn berikut.
Kami sekeluarga memang harus bersyukur
bahwa kakek sudi dan berkenan untuk mengerjakan puasa. Sebab, Kakek termasuk
orang takhlukan. Artinya, kakek mau menjalankan perintah agama belumlah terlalu
lama, lebih kurang empat tahun yang lalu. Sejak masa kanak-kanak hingga setua
ini, Kakek hidup dalam lingkup keluarga yang kurang peduli dengan masalah
agama. Sementara sejak menikah dengan Bapak, Ibu telah diboyong ke kota lain.
Di kota terakhir ini lah Ibu mulai belajar dan menjalankan perintah agama.
Tidak seperti di kota kelahirannya.
Tidak ada yang tahu persis awal
kesadaran Kakek. Sejak Nenek meninggal, Kakek memnag sering pergi ke keluarga
kami, bahkan hingga beberapa minggu. Mungkin di sini Kakek menyaksikan cara
hidup masyarakat yang begitu religius. Setiap waktu sembahyang tiba, terutama
saat maghrib, kami selalu mengerjakan bersama-sama. Setelah itu kami, anak-anak, terus belajar
membaca Al-quran dengan dibimbing oleh Bapak. Ini tentu berbeda dengan suasana
keluarga Kakek saat Ibu masih kecil dulu. Boleh jadi di sini Kakek dihadapkan
pada situasi yang membawanya ke keterjutan. Itu terlihat pada awalnya, Kakek
seperti minder. Menurut pengakuannya, alif bengkong pun dia tidak mengerti,
benar-benar asing dengan Al-quran.
2.
Tokoh dan Penokohan
a. Tokoh
“si Aku” memiliki karakter yang baik, bijaksana, dan suka menasehati seseorang
karena dapat dilihat dari cuplikan kutipan berikut: “”.
b.
Tokoh utama “Kakek” memiliki karakter yang santai, ramah,
kekanak-kanakan dan pelupa alias pikun, dapat dilihat dari cuplikan kutipan
berikut: “”
c.
Tokoh utama pelaku Sampingan “Ibu”
memliki karakter yang sabar, bijak dan humoris dapat dilihat dari cuplikan
kutipan berikut: “”
d.
Tokoh pembantu “Bapak” memiki
karakter
3.
Sudut pandang: Pengarang
menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama, hal ini bisa dilihat dari
cara pengarang menceritakan cerpen ini dalam kalimat pertama
4.
Latar tempat : Rumah Ibu
5.
Tema: Sosial, karena cerpen ini
menceritakan tentang kehidupan kekekluargaan yang sekarang yang enggan bertanggung jawab dengan
apa yang ia perbuat, bisa dilihat dari cuplikan:
Bagiku, pergi melakukan ibadah ke
Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara
hukum, Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan
diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang
listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.
6.
Amanat: Amanat dalam cerpen ini adalah,
apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai, semua perbuatan aka nada
pertanggunggjawabannya masing-masing.
7.
Gaya Bahasa: Gaya bahasa yang dipakai dalam cerpen ini adalah majas simile yaitu
perumpamaan majas perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berbeda tetapi
sengaja dianggap sama, contoh dalam cuplikan “Pengacara yang kusewa dengan harga mahal
pasti sudah memberi penjelasan panjang lebar sesuai permintaanku, termasuk
mengajukan praperadilan. Ibarat pesta biskuit, dia telah kutaburi
remah-remahnya yang tersisa di kaleng. Sambil menikmati rontokan biskuit dia
bicara tak henti-henti membelaku, seperti anjing yang sangat setia melindungi
tuannya.”
8. Dan majas metafora yaitu kata kiasan
yang menggunakan perbandingan yang singkat dan padat (tanpa membandingkan),
dapat dilihat dari cuplikan “Si alan,
seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa “menyanyi” saat di
persidangan,” (kata menyanyi = membeberkan, menceritakan semua tentang
kebenaran yang belum terungkap).
Komentar
Posting Komentar