Cerita Pendek untuk "Secuil Senja" By:Tulisan Brokoli


Secuil Senja

Kusebut dia seperti Senja karena saat menatap matanya membias warna jingga. Persis seperti namanya. Dia begitu menawan. Sosok yang tangguh meski tak jarang senja indentik dengan sebuah perpisahan.
Aku beranjak pulang, meninggalkan Senja ku sendiri disana. Hari yang cukup melelahkan. Ini sudah kesekian kalinya. Berulang kali aku hanya melihatnya. Aku tak punya cukup keberanian untuk saling bertemu. Jalanan yang kutempuh lumayan, tidak begitu jauh atau tidak begitu dekat. Cukup setengah jam aku sampai dirumah. Hanya saja setiap jalanan tidak bisa ditebak. Akhir – akhir ini  kendaraan berjubel tidak karuan. Tidak ada yang mengalah, semua melaju begitu cepat. Seperti semua pengendara adalah pembalap nomor satu dunia. Nyaliku ciut, jika harus berulang setiap hari seperti ini. Klakson dan suara kenalpot menambah riuh. Apalagi lampu merah yang “tott tott tott tottott”. Menambah jengkel.  Ini pertama kalinya aku pulang dengan waktu satu setengah jam perjalanan.
Ahmad Yani tidak bercelah. Sampai akhirnya ku matikan mesin motorku setidaknya menghemat bensin yang sudah menipis. Kusumpel telingaku dengan headset. Menikmati lagu-lagu bergenre Pop Rock, dan mengkhayal aku berduet dengan Bon Jovi.  Seketika lamunan ku buyar karena ulah klakson kampret. Ada yang tidak beres rupanya. Ini sudah hampir setengah jam kendaran kami semua tidak bergerak. Duapuluh menit lebih tepatnya. Aku berfikir, mungkin ada kecelakaan atau ada jalan yang ditutup.
Posisiku di tengah – tengah. Maghrib hampir habis. Mungkin senja juga sudah terlelap. Truk dan tiga pengendara ini menghimpitku. Ditambah  posisi bemo yang tepat dibelakangku. Aku tidak bisa menepi untuk sholat. Semoga saja tuhan mengerti. Sekalipun ini bukan alasan yang bisa diterima. Meninggalkan kewajiban hanya  karena macet. Menjelang isya’ aku tiba dirumah.
Kondisi rumah selalu sepi, belum ada yang pulang. Maklum dirumah hanya kami bertiga. Kadang hanya berdua. Kali ini bapak yang pulang dulu. Ini berarti aku memberi salam. Biasanya tidak, jika aku yang pulang terlebih dulu karena pasti salamku sia sia.
“Asalamualaikum”
“Waalikumsalam. Jemput ibuk mu dulu.”
“Iya”. Sesekali ibuk minta dijemput jika beliau tidak membawa sepeda. Ini hanya berlaku di hari – hari tertentu saja.
Seperti biasa aku langsung memasuki kamarku. Dan merebahkan punggung sebentar sebelum menjemput ibuk. Cukup sepuluh menit. Aku berangkat lagi untuk menjemput beliau yang mungkin saat ini sudah menunggu di jalan.
“Haduh.. Jalanan lagi,!” Pikirku dengan sedikit mengeluh. Tiba – tiba di jalan, kantong jaketku bergetar. Hp dengan dering lagu menjijikan. Yang ku bawa ini milik bapak. Hp keluaran jadul dengan dering lagu nostalgia. Mungkin  ini telepon dari ibuk yang minta segera dijemput.
“Hallo, jemput”
“Iya, ini lagi dijalan” Langsung dimatikan. Ini karena tarifnya mahal. Mungkin  pulsa ibuk tidak cukup.
Tiba dirumah. Tidak ada makan malam atau menonton televisi bersama. Kami semua masuk kedalam kamar masing – masing. Begitulah keluargaku. Kami semua mungkin sudah teramat lelah dengan akifitas yang menjenuhkan ini. Begitupun denganku, aku masih memikirkan senja. Membayangkan duniaku bersamanya. Tapi sayangnya, aku tak boleh terus – terusan memikirnya. Aku ingat ada tugas ang harus diselesaikan. Tanpa membuang waktu. Aku lantas menyelesaikannya di atas ranjang ini. Aku sedikit bersandar di dipan. Dengan laptop di pankuan. Dan beberapa buku di samping kanan kiri. Jika begini, aku seperti orang benar saja. Selesai. saatnya aku isirahat. Ini masih hari yang sama. Hari yang membosankkan dan melelahkan. Ku geletakkan semua tugas. Menata tubuhku senyaman mungkin agar aku tidur dengan pulas.
Ibu dan bapak sudah lebih dulu berangkat. Kali ini aku yang terakhir pergi. Aku tak pernah merasa nyaman dirumah keculai hari libur. Hanya di hari libur kami semua berkumpul. Sudah Lupakan. Minggu masih lama. Aku harus pergi sebelum telat.  Tempat ini mungkin menjadi penghibur penatku. Tentu saja, selain aku melihat senja. Melihat anak – anak tetawa dan bermain ayunan atau prosotan. Tapi  ini masih pagi. aku masih harus disini. Memberi mereka pelajaran membaca. Meski ini pagi menjelang siang, tapi aku sudah tak sabar ingin bertemu senja. Akhirnya usai sudah kewajibanku disini. Seorang anak peremupuan menghalangiku. Ketika aku ingin mengambil sepedaku dan pergi lanjut kuliah. Ia memasang muka cemberut. Dan sepertinya  ingin menangis.
“Ada apa cantik? Kenapa kok belum pulang” tanyaku, sebagai sosok guru yang sok peduli. Dia menderu dan hanya diam,
“Belum di jemput sama ayah ?” tanyaku kembali.
“Iya” dia mengangguk.
Sudah kuduga dari awal, pasti akan seperti ini. Kemudian aku menemaninya sebentar sampai  ada yang menjemput anak ini. Tapi hampir sudah sepuluh menit berlalu belum juga ada yang menjemput anak ini. Aku bingung. Jika aku menemaninya aku akan telat nanti. Kuputuskan mengantarkannya pulang.
Duabelas lewat delapan  aku tiba disini. Ku sempatkan sebentar untuk menghadap Allah untuk melaporkan kegiatanku kali ini.  Dan berharap semoga kali ini aku dapat bertemu Senja. Seusai sholat aku langsung menuju kelas. Memulai pelajaran seperti biasa. Ini tidak biasanya, kelasku ramai. Sangat gaduh. Kami terbahak bahak dengan guyonan konyol teman kami. Lantas kuambil kesempaan ini untuk melihat senja. Ku namainya begitu. Mungkin karena karakternya yang begitu mirip dengan senja di sore hari. Ini untuk pertama aku memantaunya dari dekat. Dia nampak murung, wajahnya yang gagah ditekuk sudah seperti lipatan kain pel basah. Dia sendiri di pojokan tangga. Entah ada apa dengannya. Biasanya teman laki – lakinya yang bertubuh besar dan berbadan ajudan kali ini tidak terlihat menjaganya, mungkin otaknya jenuh butuh refresing. Ku kumpulkan nyali untuk duduk disebelahnya. dia menoleh ke arahku. Mencoba tetap tenang aku pura – pura baca buku. Terlihat sok pintar dan terkesan anak kutu buku.
“Gak bosen mbak baca buku terus”. Tanyanya yang tidak mau menghadapku.
“Apa, Aku? Tidak, Kamu tidak ada kelas hari ini?”
“Males, Mbak mau ikut saya, tolong temani saya.”
“Kenapa saya harus ikut kamu? Kamu sedang tidak beres.”
“Memang”. Jawabnya lesu, sambil membereskan barang – barang dan memasukkannya ke tas punggung. kemudian beranjak pergi. Meninggalkan gadis cupu ini sendiri.
“Hei, mau kemana?” tidak ada jawaban
Ini bukan senjaku. Dia membuatku khawatir. Pahadal biasanya dia begitu hangat dan ceria. Mengumbar senyum dimanapun. Dia berbeda, seperti ada masalah. Ya, itu jelas. Aku terus menduga-duga. Dia seharusnya tidak seperti ini. Kurubah style ku agar tidak terkesan cupu. Berubah menjadi Power Ranger Pink, atau badut. Membuat senyumnya agar senja nampak menawan kembali. Mulai sejak itu aku mengubah gayaku menjadi komedian.
Keesokan harinya, aku menjumpainya kembali. Di jam – jam seperti biasa. kini Senja muncul. Ku kuatkan nyali menjadi komediawan. Semoga aku menyenangkan.
“Woooiii..”sapaku dengan nyali komedian. Berharap kaget atau terkejut. Dia hanya tersenyum. Aku tak boleh menyerah.
“Kamu tidak terkejut”
“Untuk apa?” wajahnya begitu datar.
“Tidak” balasku yang juga datar
Dan berbalas aku yang meninggalkannya terlebih dulu. Aku kesal. Usahaku sia sia membuat dia tersenyum. Aku menyerupainya. Menekuk wajahku dan kini aku yang seperti kain pel. Duduk di pojokan tangga. Persis dimana dia duduk. Dia berganti menghamiriku dan duduk disebelah. Persis dimana aku duduk dulu. Kami tidak saling bicara. Kuputuskan untuk pergi. Sudah seperti mayat yang terbungkus kafan. Menungu dan mendengar tuhanya berbicara. Saling diam tidak ada topik pembicaraan. Ini sangat tidak menyenangkan. Ku rapikan tas ku. Kemudian beranjak pergi.
Rok panjangku tercantol pegangan tangga yang terbuat dari kayu, ada paku kecil menahanku. Jika ditarik pasti akan robek. Ini susah dilepaskan. Ada tangan yang membantuku melepaskan. Senja itu menolongku.
“Jangan terburu – buru”
“Kamu mau kemana?”, Tanyanya kembali, sambil membantu melepaskan paku yang menahanku. Tapi aku tetap diam. Dia menarik tanganku.
“Ada apa denganmu?”
“Dimana teman-temanmu? Genk mu?”
“Perbaiki aku, jika kau lihat aku sedang tidak beres”. Tukasnya.
“Apa yang harus diperbaiki?”
“Perbaiki apa saja yang bisa kamu perbaiki. Aku tau, kamu selalu memantauku seperti ini. Jujur saja, kau mengaggumiku kan? apa alasanmu seperti ini?”
“Alasan apa?, Kenapa aku harus kagum padamu”. Sialan, ia mengetahui gerak gerikku. Aku mulai gemetar. Jantungku berirama tidak wajar. Setiap dia menatapku seperti itu, rasanya bola mataku terus tidak mau diam ingin salto.
Tatapan si Senja. Aku gengsi mengakuinya. Tapi dia benar selama ini aku selalu memantaunya. Memastikan keadaannya, dan mengagguminya. Dengan alasan yang tak dapat ku ceritakan.
  “Coba kamu lihat senja itu”. Sambil kutudingkan tanganku, dan berbicara selayaknya penceramah memberi pencerahan pada laki – laki bodoh yang ku kagumi itu.
“Kamu persis seperti itu. Kamu hanya terlihat indah di jam – jam tertentu. Dan hanya mampu bersembunyi di balik kesusahanmu sendiri.” Mungkin itu alasanku.
“Apa aku tampak menyedihkan?”
“Tidak,” Jawabku singkat.
“Lalu apa,” Tegasnya kembali.
“Kamu akan menyedihkan bila kamu menganggap dirimu menyedihkan. Dan kamu akan terlihat indah atau menyenangkan bila kamu juga menganggap hal yang sama”
“Apa maksudmu?”
“Aku sering memaknai senja adalah kamu”
“Hah kenapa?”
“Pahamilah sendiri” sahutku.
Kami terus memandangi langit, serasa kami bagai pasangan romantis. Suasana begitu hangat. Seperti yang aku inginkan selama ini. Kami terus memandangi biasan warna jingga yang perlahan pudar, meskipun kami jarang bertemu dan berbicara. Ingat, bahwa senja bukanlah perpisahan tapi awal dari sebuah pertemuan kita .

BIOGRAFI PENULIS

Lailatul Maghfiroh adalah nama yang diberikan kedua orangtunya. Kelahiran tahun 1995 pada tanggal 28 November. Lahir dan besar di Sidoarjo. Laila kecil pernah bermimpi menjadi penari professional, Namun kini ia memilih menamatkan pendidikan S1 di Universtas PGRI Adi Buana Surabaya, Fakultas Ilmu Kependidikan, Jurusan Bahasa dan sastra Indonesia.  Dan juga lulusan Administrasi Perkantoran di SMK PGRI 2 Sidoarjo tahun 2014, semasa SMP ia aktif  dalam organisasi IPM. Laila kecil juga pernah mengikuti lomba tari waktu SD kelas  III. Serius belajar menulis cerpen sejak mendapat tugas dari mata kuliah kreativitas sastra baru-baru ini. Wanita dengan julukan bermacam-macam ini bisa dijumpai lewa sosial media instagram @lailaa.maghfi 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRITIK dan ESAI SASTRA "Kumpulan 7 Puisi M.Shoim Anwar"

Wanita versi D'Masiv singel lagu "Natural" dalam Album Persiapan

KRITIK SASTRA "Cerpen Kakek" Karya M. Shoim Anwar